Translate

Kamis, 28 April 2011

Cerita Seorang Anak Yatim Piatu.......

Cerita Seorang Anak Yatim Piatu.......

oleh Soma Jenar pada 28 Maret 2010 jam 4:50


Seorang penyair melalui bait-baitnya yang sederhana mengingatkan saya suatu hal yang bermakna tentang pesta:

Di barat, matahari tenggelam beberapa saat lalu. Hari ini sudah seminggu berlalu, semenjak undangan itu masuk ke rumah sederhana kami, dari ibu-anak yang datang dengan Corolla biru: undangan untuk menghadiri pesta ulang tahun.

Kami bersiap. Kami lebih dari cukup bisa membayangkan kata “pesta” itu sendiri mewakili sesuatu di benak kami tentang hal-hal megah dan istimewa. Apalagi ibu-anak itu datang dengan mobil Corolla biru —yang kami pun hanya mimpi di siang bolong untuk memilikinya: sebuah pesta bisa berarti kata lain foya-foya. Mungkin malam ini akan seperti pesta “biasa”: potong kue, tiup lilin, dan tepuk tangan bernyanyi Hepi-Bisde-Tuyu – Hepi-Bisde-Tuyu.

Dan berangkatlah kami pada waktu yang ditentukan Berjumlah dua
puluh tiga, termasuk bapak dan ibu asrama. Jalan kaki bersama, karena
jaraknya cuma terpisah sepuluh rumah saja

Sampai di sana kami dipersilakan masuk dengan ramah. Rumah yang megah, pikir kami. Kami, seperti biasanya orang-orang panti yang dipenuhi keminderan, sebenarnya ingin duduk di belakang-belakang saja. Tapi kami diminta berbaur dengan remaja-remaja “lain” —remaja-remaja “lain” tersebut adalah sebagaimana remaja-remaja perkotaan: harum-harum, sehat-sehat, berbaju apik dan mahal, serta tembem-tembem pipinya.

Bagi kami, anak-anak panti, yang menjadi musuh pada saat-saat seperti ini adalah rasa minder, selain canggung dan pegal bersila. Di tengah-tengah perabot antik yang berjajar, lampu kristal yang bergelantungan menawan, serta di karpet lembut yang entah bagaimana sangat nyamannya diduduki, saya menatap suasana di sekitar dengan setengah tegap setengah menunduk. Namun sesaat kemudian saya terkejut, Tuan…

Lalu seorang remaja membaca Surah Luqman.
Dengan suara amat merdunya dan suaranya berubah jadi untaian mutiara
Yang berkilauan jadi kalung di leher pendengarnya

Tak ada potong kue, tak ada acara tiup lilin, tak ada tepuk tangan dan nyanyian Hepi-Bisde-Tuyu – Hepi-Bisde-Tuyu —tak ada definisi “pesta” seperti yang ada dalam kamus pikiran kami. Yang sedikit ada adalah pidato dari anak yang berulang tahun, yang menghantarkan surat undangan kepada kami sepekan yang lalu. Lia namanya:

”Dalam acara seperti ini, bukan saya yang jadi pusat perhatian diperingati atau dihargai tapi mama…Ya, mama kita, Ibunda kita dan ayahanda. Ibunda dan ayahanda adalah pusat perhatian kita. Hari ini, enam belas tahun yang lalu, mama melahirkan saya. Posisi saya sungsang, Saya terlalu besar. Jadi mama harus sectio Caesaria. Mama dibedah, berdarah-darah. Seluruh keluarga khawatir dan berdoa. Di luar ruang operasi duduk menanti berita dalam kecemasan luar biasa. Tapi Alhamdulillah kelahiran selamat walau pun mama sangat menderita.

Sekarang ini, enam belas tahun kemudian. Ulang tahun saya dirayakan. Saya pikir, tidak logis saya jadi pusat perhatian. harus mama yang jadi pusat perhatian. Mama. Bukan saya, Saya pikir, tidak logis saya minta kado. Harus mama yang diberi kado…”

Tak lama, sebuah bingkisan kertas berkilat, diikat bunga berbentuk pita, diberikan oleh Lia untuk ibundanya, persis 16 tahun setelah sang ibu itu mempertaruhkan nyawa berdarah-darah. Napas tertahan, kemudian muncul haru, kemudian muncul isak air mata, lalu hening…

Lia tak mau ada upacara tiup lilin, “dalam ensiklopedi zaman batu di Eropa diketemukan bahwa nyala lilin bisa mengusir sihir, roh jahat, leak, memedi, sijundai, dan semacamnya”. Lia menolak superstiti Romawi Kuno. Tak bisa cita-cita terkabul hanya dengan sekali-tiup-semua-lilin-padam. “Saya tak mau cuma jadi kawanan burung kakaktua, burung beo yang pintar meniru adat Belanda dan Amerika”, begitu lanjutnya.

”Hadiah paling saya harapkan dari kalian
Adalah doa bersama, sesudah hamdalah dan
salawat karena saya ingin jadi anak yang baik laku, jadi perhiasan di leher
ibuku , jadi penyenang hati ayahku, rukun dengan kakak-kakak dan
adik-adikku, bertegur-sapa dengan semua tetangga. Dan kelak ketika
dewasa berguna bagi Indonesia.”

Setelah makan saya melihat tuan rumah yang baik hati itu. Bapak dan ibu itu berdiri bersama Lia anak gadisnya dan berbicara sangat mesra. Kubayangkan ayahku almarhum, mungkin seusia dengan bapak ini, beliau meninggal ketika umurku setahun. Kubayangkan ibuku almarhumah wafat ketika aku kelas enam SD. Mungkin seusia pula dengan ibu itu. Dan saya ingat, Tuan…tak pernah aku merayakan ulang tahunku…Tidak pernah…

Taufik Ismail menulis kisah ini dalam puisi Cerita Seorang Anak Yatim Piatu Selepas Pesta Ulang Tahun Tetangganya.

· · Bagikan · Hapus
    • 'Alv Vin Assalamu'alaikum!
      Selamat ulang tahun brother
      28 Maret 2010 jam 5:22 melalui Facebook Seluler ·
    • Widi Chiayou happy birthday ...:)
      28 Maret 2010 jam 6:38 ·
    • Yulyani Dewi Satu Full ◦♥♥◦◦♥♥◦♥♥ ◦♥♥◦♥♥◦♥♥◦
      ◦♥♥◦ Happy ß'day ãϞϑ ◦♥♥◦
      ◦♥♥◦ ώΐ§Ђ υ Ãƪƪ †Ђε ß姆◦♥♥◦ ◦♥♥◦♥♥◦♥♥◦♥♥◦♥♥◦◦♥♥◦
      28 Maret 2010 jam 6:46 melalui Facebook Seluler ·
    • Fitri Zubaidah Wardono met ultah semoga sukses selalu
      28 Maret 2010 jam 6:50 ·
    • Prasthinanda Cahyo Ning Tyas jadi pengen nangis hiks... terharu dan menyentuh kalbuku..
      terima kasih sahabat kau telah mengingatkanku akan bundaku... Sukses...
      28 Maret 2010 jam 8:11 ·
    • Nari Asih Wilujeng Tanggap warso... Sembah Nuwun.. Notes yg skaligur reminder 4 us.. Rahayu mas :)
      28 Maret 2010 jam 8:20 melalui Facebook Seluler ·
    • Soma Jenar Matur sembah nuwun nggih dek Asih....^_^
      28 Maret 2010 jam 18:16 ·
    • D FeNi Cm Aprillia happy b'day ya om...., semoga semua keinginnya di kabulkan ma allah.., amien...!!!!!
      29 Maret 2010 jam 8:56 ·
    • Soma Jenar amien....., makasih ya...dek....^.^
      29 Maret 2010 jam 11:59 ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar