Translate

Jumat, 29 April 2011

SUPERSEMAR

SUPERSEMAR

oleh Soma Jenar pada 28 Februari 2010 jam 19:17


Kontroversi Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar, terutama menyangkut tiga hal, masih belum menemukan titik terang.

Ketiga hal itu adalah pertama, mengenai teks. Kedua, terkait proses mendapatkan surat itu. Ketiga, mengenai interpretasi isi perintah itu.

Naskah asli Supersemar sendiri hingga sekarang belum ditemukan. Keluarnya surat itu tidak bisa dilepaskan dari rangkaian peristiwa yang terjadi sebelumnya. Presiden Soekarno memiliki penafsiran berbeda dengan kelompok Soeharto.

Dokumen yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia terdiri dari beberapa versi. Namun, sebenarnya perbedaan antarnaskah, misalnya mengenai tempat penandatanganan—apakah Jakarta atau Bogor—tidak mengubah substansinya. Demikian pula jumlah halaman surat perintah itu—satu atau dua halaman—itu hanya soal teknis.

Sudharmono mengatakan, surat itu digandakan atau difotokopi. Namun, ternyata hal itu dibantah Moerdiono yang menegaskan, surat itu dironeo (distensil).

Tampaknya awal tahun 1966 belum ada mesin fotokopi di Ibu Kota. Dengan demikian, surat itu distensil. Jika itu yang terjadi, berarti naskah diketik ulang. Maka tidak aneh jika terdapat berbagai perbedaan. Bahkan, logo burung Garudanya terlihat seperti digambar dengan tangan.

Ketika biografi Jenderal Jusuf diterbitkan setelah ia meninggal, masyarakat berharap menemukan titik terang. Ternyata Supersemar yang dilampirkan bukanlah yang asli, paling tidak demikian menurut Kepala Arsip Nasional, karena logo yang digunakan Garuda Pancasila, padahal lambang kepresidenan adalah padi kapas.

Minimal kita berharap, draf pertama surat itu, draf kedua yang sudah ditulisi komentar Soebandrio beserta tembusan ketiga dari teks asli (yang tidak ditandatangani Presiden) yang semuanya dimiliki Jenderal Jusuf dapat diserahkan kepada pemerintah.

Di bawah tekanan

Aspek kedua yaitu proses memperoleh surat itu perlu dijelaskan kepada masyarakat, terutama kepada para siswa. Surat itu diberikan bukan atas kemauan atau prakarsa Presiden Soekarno. Surat itu diberikan di bawah tekanan, seperti terlihat dari rangkaian peristiwa berikut ini.

Tanggal 9 Maret 1966 malam, Hasjim Ning dan M Dasaad, dua pengusaha yang dekat dengan Bung Karno, diminta Asisten VII Men/Pangad Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara untuk membujuk Presiden Soekarno agar menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Pada malam itu juga, keduanya mendapat surat perintah yang ditandatangani sendiri oleh Men/Pangad Letjen Soeharto yang menyatakan bahwa mereka adalah penghubung antara Presiden Soekarno dan Men/Pangad.

Hasjim Ning dan M Dasaad berhasil bertemu dengan Presiden Soekarno pada 10 Maret 1966 di Istana Bogor. Hasjim Ning menyampaikan pesan tersebut. Bung Karno menolak. Dengan amarah, Bung Karno berkata, ”Kamu juga sudah pro-Soeharto!”

Dari sini terlihat bahwa usaha membujuk Soekarno telah dilakukan, lalu diikuti dengan mengirim tiga jenderal ke Istana Bogor. Pagi 11 Maret 1966 dilangsungkan sidang kabinet di Istana yang dikepung oleh demonstrasi mahasiswa besar-besaran serta didukung pasukan tertentu. Hal itu mengagetkan Presiden yang memutuskan untuk menyingkir ke Istana Bogor.

Brigjen Kemal Idris saat itu mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad dan RPKAD untuk mengepung Istana. Tujuan utamanya adalah menangkap Soebandrio yang berlindung di kompleks Istana. Memang pasukan-pasukan itu mencopot identitas mereka sehingga tak mengherankan Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkannya sebagai ”pasukan tidak dikenal” kepada Bung Karno. Letjen Soeharto sendiri tidak hadir dalam sidang kabinet dengan alasan sakit. Bila dia ada, tentu Bung Karno akan memerintahkannya untuk membubarkan demonstrasi gabungan mahasiswa-tentara itu.

Sebetulnya banyak faktor yang terjadi sebelum 11 Maret 1966 yang semuanya menjadikan semacam ”tekanan” terhadap Presiden Soekarno. Dan, puncak dari tekanan itu datang dari ketiga jenderal itu. Bila tidak ada demonstrasi dari mahasiswa dan pasukan tak dikenal yang mengepung Istana, tentu peristiwa keluarnya Supersemar di Bogor tidak/belum terjadi.

Tafsir berlawanan

Bagi Presiden Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan Presiden dan keluarganya. Namun, sebenarnya ia ”kecolongan” dengan membubuhkan frase ”mengambil segala tindakan yang dianggap perlu” dalam surat tersebut. Padahal, perintah dalam militer harus tegas batas-batasnya, termasuk waktu pelaksanaannya.

Menurut Bung Karno, surat itu bukanlah transfer of authority. Amir Machmud yang membawa surat itu dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.

Dengan surat itu, Soeharto mengambil aksi beruntun pada Maret 1966, membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan Tjakrabirawa (yang terdiri dari sekitar 4.000 anggota pasukan yang loyal kepada Presiden), dan mengontrol media massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspen AD). Tindakan Soeharto ini tidak lain mengakhiri dualisme kekuasaan yang telah terjadi pasca-Gerakan 30 September.

Dualisme kekuasaan itu tampak jelas dalam kasus penghentian rencana nasionalisasi perusahaan asing akhir 1965. Tanggal 15 Desember 1965, dengan naik helikopter Soeharto menuju Istana Cipanas tempat pertemuan yang dipimpin Waperdam Chaerul Saleh dengan agenda pengambilalihan Caltex. Soeharto turun dari helikopter dan berseru, ”AD tidak setuju nasionalisasi Caltex”. Lalu, ia langsung meninggalkan tempat dan kembali ke Jakarta. Peristiwa dramatis itu sungguh menunjukkan adanya dua pimpinan nasional saat itu karena dalam kasus ini jelas Soeharto tidak bertindak atas perintah Presiden Soekarno.

Pelajaran yang dapat diambil dari keluarnya Supersemar ini adalah pada masa mendatang hendaknya pergantian kekuasaan presiden berlangsung melalui pemilihan umum yang demokratis (dan damai), bukan dengan ”kudeta merangkak” yang menyakitkan.


Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI

Sumber: Kompas, 11 Maret 2009

· · Bagikan · Hapus
    • Pakdhe Boedhi
      NASKAH ASLI SUPERSEMAR DITEMUKAN ?

      Oleh Dasman Djamaluddin

      “Presiden Punya Informasi tentang Naskah Asli Supersemar,’ itulah salah satu lead berita yang saya baca.
      ...
      Presiden Susilo Bambang Yudhoyono katanya memiliki informasi tentang keberadaan naskah asli Surat perintah 11 Maret yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Bahkan Presiden sudah meminta Arsip Nasional menindaklanjuti benar atau tidaknya informasi tersebut.

      Sejauh ini generasi muda bangsa masih mendambakan ditemukannya surat asli tersebut.Sejak 11 Maret 1966, naskah asli Supersemar hilang. Di tengah-tengah masyarakat sudah beredar berbagai versi Supersemar. Sudah tentu yang beredar itu naskah palsu, karena yang asli belum ditemukan. Membingungkan, karena naskah aslinya tidak juga ditemukan. Untunglah pencarian naskah asli Supersemar tetap dilaksanakan. Buktinya Presiden RI sekarang punya informasi tentang itu.

      Diakui bahwa sudah muncul rasa “bosan”, jika seseorang mendengar naskah asli Supersemar. Apa betul naskahnya bisa diperoleh ? Sebagai contoh, kebosanan itu telah merasuki pola berpikir para intelektual kita dalam Seminar Nasional dan Diskusi Interaktif “Implikasi Wafatnya Soeharto terhadap Kebenaran Sejarah Supersemar,” pada Selasa, 25 Maret 2008 di Fakultas Hukum Universitas YARSI, Jakarta.

      Selain saya sebagai pembicara (Penulis Buku:”Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar”/Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Sejarah Supersemar/LPSS), hadir pula Dr.Anhar Gonggong (Sejarawan), Atmadji Sumarkidjo (Penulis buku:”Jenderal M.Jusuf Panglima para Prajurit”) dan Abdul Kadir Besar (Sekretaris Umum MPRS 1966). Terlihat sangat jelas ada ‘kebosanan’ berbicara tentang naskah asli Supersemar. Bahkan Anhar Gonggong dan Atmadji Sumarkidjo mengatakan, naskah asli adalah bagian masa lalu, oleh karena itu naskah asli Supersemar tidak perlu dicari). Tetapi saya di dalam makalah :”Supersemar, Sumber Sejarah yang Hilang,” tetap bertahan bahwa naskah asli Supersemar harus ditemukan, demi generasi pewaris bangsa ini ( makalah lengkap ada di http://dasmandj.blogspot.com/).
      Lihat Selengkapnya
      28 Februari 2010 jam 19:32 ·
    • Elfia Prihandini soekarno si pembagi energi dan semangat...di ujung hidupnya terkalahkan oleh si ahli strategi
      28 Februari 2010 jam 19:37 ·
    • Imam Suwandi Wah perlu dilacak lebih dalam nich....
      28 Februari 2010 jam 19:46 ·
    • Nuning Singadimedja sejarah supersemar memang menjadi misteri. Mau menjadi seperti apa Supersemar adalah tergantung pada kepentingan yang ada saat itu...

      jasmerah
      jasme
      rahnya siapa ?
      28 Februari 2010 jam 20:10 ·
    • Soma Jenar
      “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” yang disingkat menjadi Jas Merah adalah istilah/slogan/petuah Bung Karno kepada rakyat Indonesia…..dalam berbagai pidato dan dibukunya yang berjudul “Dibawah Bendera Revolusi”……. Respons dan persepsi... rakyat Indonesia beragam, ada yang memperhatikan dan mempelajarinya secara serius, ada yang sekedar tahu lalu EGP ( emang gue pikirin…)…..

      Karena itu di Indonesia, pakar sejarah yang betul betul profesional dan jujur, sangat sedikit…kebanyakan hanya digunakan sebagai alat propaganda politik pemerintahan yang berkuasa…..akibatnya munculah berbagai versi tentang suatu peristiwa penting di Indonesia ini……….

      Misalnya :.....

      “Peristiwa penculikan Bung Karno menjelang pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945″…

      “Peristiwa Pemberontakan G 30 S PKI”…”Peristiwa Pembrontakan PKI Madiun 1948″ …

      “Pemberontakan GAM “

      “Pemberontakan PRRI-Permesta”..

      ” Pemberontakan RMS”..

      “Peristiwa penembakan Istana Presiden Soekarno oleh pilot TNI AU Maukar”…

      “Peristiwa dibalik mundurnya presiden Soeharto Mei 1998″.

      “Peristiwa sengketa mantan presiden Habibie dengan Prabowo”…

      …….dan banyak lagi berbagai periatiwa yang misterius…

      Saya ingin ajak untuk mau peduli tentang sejarah perjuangan para pahlawan dinegeri kita, termasuk sejarah dunia…..karena walaupun sebagian telah direkayasa/dimanipulasi penguasa pada masanya, tapi tetap ada benang merah yang menghubungkan berbagai peristiwa sejarah tersebut misalnya:

      …….semua penguasa yang dzalim, pada akhirnya akan hancur juga….

      contoh:

      Hitler, Musolini, Rezim komunis di Sovyet Uni, Penjajahan Jepang di Asia Timur, Penjajahan bangsa Eropa di benua Amerika, Asia, Afrila dll…

      Intinya sejarah membuktikan bahwa penguasa yang bertentangan dengan suara hati manusia yang dihembuskan Allah SWT/Asmaul Husna…(yaitu kejujuran, keadilan, kebenaran, perlindunganterhadap hak azasi manusia, kemerdekaan, kebebasan, kasih sayang, dll…) pada akhirnya akan runtuh juga……

      Demikian juga dengan kedzaliman di Indonesia, mulai dengan penjajahan Belanda, Jepang, Nica..akhirnya hancur juga…..Kedzaliman Orde Baru juga berakhir secara tragis…..terjadi tanpa diduga…

      Itu bukti bahwa akhirnya Allah akan bertindak juga pada waktu yang tepat tanpa bisa dilawan oleh siapapun…. Allah bekerja dengan metoda hukum causalitas, hukum sebab akibat…Allah SWT adalah penguasa tunggal hukum sebab akibat, karena Allah SWT adalah Prima Causa…Penyebab paling awal, Penyebab Utama semua kejadian….

      Peribahasa “Siapa Menebar Angin Akan Menuai Badai”, adalah peribahasa yang patut selalu diingat…..Tidak ada seorangpun didunia ini akan lolos dari kejahatannya…..Hanya perlu waktu dalam pembuktiannya…….

      Yaitu setelah hukum causalitas terpenuhi dengan izin Allah…

      (http://tirtaamijaya.wordpress.com/2007/09/28/jas-merah/)
      Lihat Selengkapnya
      01 Maret 2010 jam 0:09 ·
    • Dina Mustikasari ThX'z dh d'tag
      01 Maret 2010 jam 0:57 melalui Facebook Seluler ·

Tidak ada komentar:

Posting Komentar