Translate

Senin, 22 November 2010

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN


RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

    Rukun adalah unsur-unsur yang harus ada untuk dapat terjadinya suatu perkawinan. Rukun perkawinan terdiri dari calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi serta ijab dan kabul
    Syarat perkawinan adalah syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing unsur perkawinan.

CALON SUAMI ISTERI

1.          Calon suami-isteri syarat-syaratnya:

a)     Umur calon suami 19 tahun; calon isteri 16 tahun (Pasal 7 UUP).
b)     Mempelai yang belum berumur 21 tahun harus ijin orang tua.
c)     Ada persetujuan calon mempelai.
d)     Antara calon mempelai tidak terdapat halangan perkawinan.

2.          Sebab-sebab Larangan Perkawinan

a)        Karena pertalian nasab :
         ibu, nenek dan seterusnya, anak, ducu, dan seterusnya.
         saudara-saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
         bibi dan seterusnya ke atas.
b)        Karena pertalian kerabat semenda
         mertua, ibu tiri (bekas isteri ayah), anak tiri (kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla aldukhul, menantu/bekas isteri anaknya.
c)        Karena pertalian sesusuan
         ibu sesusuan dan seterusnya ke atas.
         saudara sesusuan dan seterusnya ke bawah.
         kemenakan sesusuan dan seterusnya ke bawah.
         bibi dan nenek bibi sesusuan ke atas
         anak yang disusui isterinya dan keturunannya.
d)        Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan wanita yang mempunyai hubungan nasab atau susuan dengan isterinya (saudara kandung, seayah, serta keturunannya; bibinya atau kemenakannya).
e)        Seorang pria dilarang kawin lebih dari empat orang wanita.
f)         Dilarang kawin seorang pria dengan:
         wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali, kecuali telah terpenuhinya syarat-syarat tertentu.
         wanita bekas isterinya yang telah di lian.

g)        Wanita Islam dilarang kawin dengan pria non-Islam.

3.          Larangan Perkawinan dalam Keadaan Tertentu

a)     Wanita yang masih terikat perkawinan dengan pria lain.
b)     Wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain.
c)     Wanita yang tidak beragama Islam

4.          Peminangan

a)  Pengertian
Peminangan dalam fiqh disebut khitbah = permintaan, adalah pernyataan atau permintaan dan seorang laki-laki kepada seorang wanita dengan maksud untuk dinikahinya, baik dilakukan oleh laki-laki yang bersangkutan secara langsung maupun melalui perantaraan pihak lain yang dipercaya sesuai dengan ketentuan agama.
Peminangan menurut KHI adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita (Pasal 1 huruf a KHI).
b)  Pelaku peminangan
Dapat dilakukan langsung oleh yang bersangkutan dan melalui perantara orang lain yang dapat dipercaya.
c)  Wanita yang dilarang dan haram dipinang.
   Wanita yang masih menjalani masa iddah raji.
   Wanita yang sedang dipinang oleh pria lain, kecuali pinangan tersebut telah putus dan ditolak.
d)  Putusnya pinangan dan akibatnya
Putusnya pinangan dapat terjadi karena: (1) adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan, dan (2) Secara diam-diam pria peminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan dengan tetap mengindahkan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat dan tetap memelihara kerukunan. Peminangan dalam hukum Islam belum mempunyai akibat hukum. Hal ini mempunyai kesamaan dengan hukum perdata barat yang tidak terdapat sanksi hukum apabila terjadi pemutusan pinangan. Berbeda dengan status pertunangan dalam hukum adat. Dalam hukum adat, pertunangan dianggap sebagai suatu lembaga hukum; suatu pengertian hukum, yang konsekuensinya mempunyai akibat hukum, misalnya pihak yang memutuskan/bersalah kehilangan tanda pengikat, mengembalikan dua kali lipat dan membayar denda delik lainnya. Dalam hukum adat, adanya pertunangan berarti seseorang terikat untuk kawin dan ada kewajiban untuk memberikan hadiah-hadiah.
e)  Catatan: Diterimanya pinangan pria oleh pihak wanita belum menghalalkan hubungan antara keduanya.

WALI NIKAH

1.   Kedudukkan Wali

a)  Imam Malik, Syafii dan Hambali berpendapat bahwa wali merupakan syarat sahnya perkawinan. Dasar hukumnya adalah:
    Hadits Nabi
Barang siapa di antara perempuan yang menikah dengan tak seijin walinya maka perkawinannya batal (Empat orang ahli hadits kecuali Nasai)
    Hadits Nabi
Janganlah menikahkan perempuan akan perempuan lain dan jangan pula menikahkan seorang perempuan akan dirinya sendiri (Riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni)
    Hadits Nabi
Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil (Hadits Riwayat Ahmad).
b)  Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wali.
Hadits Nabi
Orang-orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah diamnya (Hadits Bukhari Muslim).
c)  Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa wali nikah merupakan rukun.

2.   Tertib Wali

Tertib wali menurut Imam Syafii:
a)  Ayah
b)  Kakek dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki
c)  Saudara laki-laki kandung
d)  Saudara laki-laki seayah
e)      Kemenakan laki-laki kandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar